Wednesday, 5 November 2014

CONTOH PROPOSAL : FYKE NET, ALAT PENANGKAP IKAN KARANG ALTERNATIF RAMAH LINGKUNGAN

1  PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Terumbu karang Indonesia diperkirakan seluas 85.707 km2 yang terdiri atas terumbu tepi yang terdapat di 95 % pulau Indonesia yang jumlahnya 17.500 buah, terumbu penghalang yang terdapat di beberapa tempat di Selat Makassar dan Kalimantan Timur, terumbu cincin atau atol di Taka Bonerate dan “oceanic platform reef” (Dahuri 2003).   Luas terumbu karang di Indonesia hanya sekitar 15 % dari luas terumbu karang dunia, sungguhpun demikian dengan melihat tingkat keragaman jenis terumbu karang Indonesia yang sangat tinggi terutama dikawasan Maluku dan Sulawesi menjadikan Indonesia sebagai pusat kawasan terumbu karang dunia (Dahuri 2003; Tim penyusun Pedoman Umum COREMAP II 2004).
 Seperti halnya di negara-negara kepulauan di dunia, ekosistem terumbu karang Indonesia menyediakan sumber makanan yang penting berupa ikan, krustasea, dan moluska.  Produksi ikan karang Indonesia dapat mencapai 30 ton/km2/tahun (Tim penyusun Pedoman Umum COREMAP II 2004).  Hal inilah yang membuat perikanan terumbu karang merupakan salah satu sumber penghidupan utama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil (King 1995).


Ikan karang adalah sumberdaya yang dapat terbaharukan.  Secara alami ikan-ikan dapat memperbaharui kondisi stoknya dengan cara bereproduksi.  Seekor induk ikan karang dapat menghasilkan anak dalam jumlah yang cukup besar,  namun sifat ikan karang yang bertumbuh secara lambat, membuat stok ikan karang sangat rentan terhadap upaya penangkapan berlebih (McManus 1996).  Agar sumberdaya ikan karang dapat tetap lestari upaya pengelolaan yang bertanggungjawab harus ditegakkan dengan cara menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan.
Saat ini banyak dilaporkan bahwa telah terjadi kerusakan terumbu karang di berbagai wilayah dunia.  Kerusakan ini diakibatkan oleh proses alami dan faktor antropogenik pada berbagai skala, mulai skala kecil yang disebabkan oleh benturan jangkar, predasi oleh biota laut, hingga berskala besar berupa pemutihan (bleaching) pada suatu ekosistem terumbu karang yang luas akibat kenaikan suhu perairan yang berkepanjangan.  Namun kerusakan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia jauh lebih besar dampaknya dibandingkan kerusakan yang terjadi secara alamiah tersebut (Pet-Soede et al. 2001; Akimichi 2006).
Salah satu aktivitas terbesar manusia di perairan terumbu karang adalah kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan berbagai alat penangkap ikan, misalnya bubu, gillnet, muro ami, pancing, panah, dan sero.  Selain itu ada dua cara lain yang juga banyak digunakan secara tersembunyi adalah penggunaan bahan peledak dan bahan beracun yang keduanya telah terbukti sangat merusak habitat terumbu karang (Pet-Soede et al. 2001).
Dari sekian banyak alat penangkap ikan tersebut di atas, muro ami atau di Selayar dikenal dengan nama ”samba’” yang secara fisik hampir tidak bersentuhan dengan terumbu karang, tetapi pada pengoperasiannya, tongkat-tongkat para nelayan yang digunakan untuk menggiring ikan karang menuju alat ini ternyata dapat menghancurkan terumbu karang terutama karang bercabang sehingga alat ini dikategorikan sebagai alat yang tidak ramah lingkungan.
Gillnet yang merupakan alat pasif dan selektif yang dikategorikan sebagai alat yang ramah lingkungan.  Namun gillnet menjadi tidak ramah lingkungan apabila dioperasikan di perairan berkarang pada malam hari karena berpeluang besar untuk berbeturan dengan karang (Kushima and Miyasaka 2003).
Pancing merupakan salah satu alat yang banyak digunakan oleh para nelayan tradisional untuk menangkap ikan karang.  Peralatan pancing sendiri tidak merusak karang tetapi benturan jangkar perahu yang digunakan pada saat memancing yang merusak karang.  Untuk dapat meningkatkan keramahan alat pancing yang dioperasikan di perairan terumbu karang, modifikasi yang dilakukan bukan pada alatnya tetapi metode penangkapan yang digunakan.  Di daerah-daerah konservasi terumbu karang misalnya di Taka Bonerate, Kabupaten Selayar telah dilakukan pemasangan jangkar permanen dibeberapa tempat untuk dapat digunakan oleh para nelayan pemancing menambatkan perahunya saat melakukan operasi penangkapan sehingga para nelayan tidak lagi membuang jangkar di sembarang tempat yang dapat mengakibatkan kehancuran  karang.
Saat ini bubu (trap) dan sero (fence trap) adalah sejenis alat yang paling banyak digunakan untuk menangkap ikan karang  (Alcala dan Russ 2002) dan telah banyak dioperasikan di Indonesia dengan hasil yang memuaskan. Akan tetapi kedua alat ini memiliki banyak keterbatasan.  Hasil tangkapan per unit bubu relatif sangat terbatas dan pada pengoperasiannya umumnya menggunakan terumbu karang untuk alat kamuflase.  Oleh karena hasil tangkapan per unit bubu terbatas akibat sifat kejenuhan alat (Jennings et al. 2001), maka dioperasikan sekaligus cukup banyak bubu yang diikatkan pada satu untaian tali.  Dengan cara ini pada saat penurunan dan penarikan alat sering terjadi benturan antara bubu dengan dasar perairan yang dapat mengakibatkan kerusakan pada dasar perairan terutama apabila terdapat terumbu karang (Valdemarsen and Suuronen 2003).
Keterbatasan pada sero adalah hanya bisa dioperasikan di wilayah pesisir yang dangkal di pesisir pantai sehingga alat ini dapat menghalangi alur pelayaran.  Selain itu dimensi alat yang besar membuat harganya juga mahal.  Keterbatasan lain sero pada beberapa tempat di wilayah perairan pesisir barat Pulau Selayar adalah pada musim angin muson barat alat tersebut harus dibongkar agar tidak hancur oleh hempasan gelombang dan terpaan batang kayu yang hanyut dibawa gelombang.
Dengan melihat keterbatasan-keterbatasan pada kedua alat ini maka diperlukan suatu alat penangkap ikan karang yang diharapkan mampu menutupi keterbatasan-keterbatasan tersebut.  Dari sekian banyak alat penangkap ikan yang telah ada, fyke net dianggap cocok berdasarkan penilaian dari bentuknya yang serupa dangan sero juga serupa dengan bubu.
Kelebihan fyke net terhadap bubu dilihat dari segi konstruksi Fyke net yang memiliki ruang penampungan ikan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan apa yang dimiliki oleh bubu sehingga kemampuan tangkapnya juga relatif lebih besar dibandingkan dengan kemampuan bubu ditinjau dari segi kejenuhan alat.  Dengan demikian alat ini tidak perlu dioperasikan sekaligus dalam jumlah yang banyak seperti pada bubu yang sering menimbulkan permasalah dengan terbenturnya bubu pada terumbu karang.
Kelebihan fyke net terhadap sero adalah pada konstruksi tempat penyimpanan ikan yang tertutup sedangkan pada sero terbuka di bagian atas.  Hal ini membuat fyke net dapat dioperasikan di perairan yang lebih dalam dibandingkan tempat pengoperasian sero.  Dengan demikian pengoperasian fyke net tidak menghalangi alur pelayaran dan selain itu alat ini memiliki peluang yang lebih besar untuk menangkap ikan-ikan karang dengan ukuran yang lebih besar.
Sungguhpun terlihat bahwa fyke net memiliki banyak kelebihan tetapi apakah pada pengoperasian diperairan terumbu karang fyke net akan mampu menangkap ikan karang seperti yang diharapkan dan apakah teknik pengoperasiannya akan memenuhi kriteria ramah lingkungan masih merupakan hal yang perlu diuji.  Oleh sebab itu pada penelitian ini dilakukan serangkaian pengujian terhadap alat tersebut karena fyke net selama ini bukanlah alat yang digunakan untuk menangkap ikan karang.   
Fyke net adalah sejenis perangkap ikan yang banyak dioperasikan oleh para nelayan di seluruh dunia.  Menurut O’Neal (2006) fyke net berasal dari Finlandia dan telah dioperasikan di laut untuk menangkap herring, whitefish dan salmon.  Alat ini merupakan modifikasi dari alat ”salmon wing net” yang telah digunakan beratus tahun yang lalu.  Fyke net adalah alat penangkap ikan yang banyak dioperasikan di perairan dangkal.  Alat ini banyak digunakan pada kegiatan penangkapan ikan di sungai karena dapat dioperasikan pada perairan yang berarus.  Dalam kondisi demikian alat ini biasa dioperasikan tanpa menggunakan sayap atau penaju (Gebhards 1979).  Pada daerah dengan arah arus yang tidak tetap fyke net memiliki sayap yang pendek sedangkan di perairan pesisir dengan arus yang relatif lebih lemah, fyke net dioperasikan dengan menggunakan sayap yang panjang untuk menangkap flounder dan ikan demersal lainnya.  Pada kondisi seperti ini sayap fyke net diberi pemberat dan pelampung agar bisa berdiri tegak tanpa harus ditopang oleh tiang patok. Di sungai yang berarus, fyke net biasanya banyak menangkap  udang.  Alat ini juga digunakan untuk menangkap ikan peruaya misalnya sidat (Anguilla sp) (Rounsefell and Everhart 1962; Schneider dan Merna 2000; O’Neal 2006).
Terpilihnya fyke net terpilih sebagai alat uji berdasarkan  serangkaian studi pustaka yang menemukan bahwa alat ini secara hipotesis bersifat ramah terhadap lingkungan terumbu karang karena sifatnya yang pasif terhadap ikan target sehingga kecil peluang bagi alat ini untuk membentur terumbu karang, sebagaimana halnya pada alat penangkapan ikan yang bersifat pasif yang menjadikan ikan yang aktif bergerak sebagai target penangkapannya (Jennings et al. 2001;  Soadiq 2010).  Oleh sebab itu penelitian ini dilakukan untuk mengamati pola gerak ikan di sekitar fyke net dalam proses penangkapan maupun proses melepaskan diri untuk dapat mengetahui desain yang baik bagi alat ini untuk menjadi alat yang lebih efektif dalam menangkap ikan.
Penelitian pola gerak ikan karang biasanya ditujukan untuk penemuan jalur ruaya ikan-ikan tertentu untuk tujuan kegiatan penangkapan.  Selain itu penelitian tersebut juga dapat ditujukan untuk dapat mencegah penempatan alat tangkap di jalur ruaya ikan yang sedang menuju tempat pemijahannya agar upaya plestarian ikan karang dapat dilakukan.  Dalam penelitian ini pola gerak ikan yang diamati tidak mencakup pola gerak migrasi menuju tempat pemijahan (pola gerak musiman) tetapi hanya dibatasi pada pola gerak acak di sekitar alat tangkap uji dan pola gerak aktif yang dipengaruhi oleh kondisi siang dan malam.
Fyke net adalah alat tangkap uji dalam penelitian ini.  Alat ini dipilih berdasarkan hasil studi pustaka yang dilakukan selama 3 bulan untuk menelusuri alat penangkap ikan yang ada di dunia saat ini yang secara hipotesis mampu menangkap ikan karang dalam jumlah yang memadai dari segi ekonomis seperti didaerah asalnya 5-8 kg perhari operasi (Hemingway dan Elliott 2002) namun tidak merusak stok ikan karang  maupun terumbu karang sebagai habitat ikan tersebut.

1.2  Perumusan Masalah

Hal utama yang dituntut dari suatu alat tangkap yang dioperasikan di terumbu karang adalah tingkat keramahannya pada lingkungan, yakni tidak merusak terumbu karang sebagai habitat utama pada ekosistem tersebut dan memiliki tingkat selektivitas yang tinggi agar alat tidak menangkap juvenil ikan dan penyu yang banyak terdapat di ekosistem tersebut.  Namun alat tangkap yang dianggap ramah di tempat lain ternyata tidak ramah di perairan terumbu karang karena dapat merusak terumbu karang.
Sungguhpun pada kegiatan perikanan di terumbu karang para nelayan menggunakan alat tangkap tradisional dan berskala kecil yang dioperasikan untuk menangkap ikan secara individu atau berkelompok, beberapa alat dikategorikan sebagai alat yang tidak merusak lingkungan, misalnya pancing,  ada yang dikategorikan merusak karang yang rapuh, misalnya perangkap dan jaring insang tetap dan ada yang dikategorikan sangat merusak, misalnya penggunaan bahan peledak dan bahan beracun dalam kegiatan penangkap ikan. (Amar et al. 1996;  Alcala dan Russ 2002).
Anggapan bahwa alat penangkap yang tergolong pasif misalnya pancing sebagai alat yang tidak merusak lingkungan tetapi secara tidak langsung jangkar yang digunakan untuk menahan perahu dalam pengoperasian pancing dapat membentur terumbu karang hingga rusak.  Bubu yang dianggap alat yang tidak merusak lingkungan menjadi alat yang merusak karena nelayan menggunakan karang sebagai pemberat dan untuk penyamaran alat tersebut.  Muro-ami adalah alat tangkap pasif yang hampir tidak bersentuhan dengan terumbu karang tetapi benturan tongkat para nelayan saat menggiring ikan ke dalam kantong alat tersebut dapat menghancurkan karang (McManus 1996).
Alat tangkap aktif misalnya pukat harimau, pukat cincin dan pukat pantai  dikategorikan sebagai alat yang sangat merusak terumbu karang.  Menurut Bjordal (2002) saat ini telah banyak paparan terumbu karang dunia yang telah dirusak oleh trawl dan memerlukan lebih dari seratus tahun untuk dapat memulihkannya.  Berdasarkan hal tersebut di atas maka sebetulnya yang menyebabkan suatu alat tangkap menjadi alat yang merusak lingkungan sangat ditentukan oleh metode pengoperasian yang digunakan oleh nelayan.  Disinilah pentingnya penerapan suatu manajemen dalam perikanan agar dampak negatif yang dapat timbul dari kegiatan penangkapan ikan dapat diminimalkan.





1.3   Tujuan Penelitian

1.3.1        Tujuan umum
Mendapatkan alat penangkap ikan yang lebih efektif dalam menangkap ikan dan lebih ramah pada lingkungan terumbu karang.
1.3.2         Tujuan khusus
(1)      Mengkaji desain konstruksi dan teknik pengoperasian fyke net untuk pengoperasian di perairan terumbu karang.
(2)      Mengkaji tingkat keramahan model fyke net berdasarkan kondisi hasil tangkapan, selektivitas dan teknik pengoperasian alat.

1.4   Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan kemampuan fyke net dalam menangkap ikan karang dan dapat menunjukkan tingkat keramahan alat  tersebut terhadap ekosistem terumbu karang sehingga dapat menjadi alat penangkap alternatif dalam menangkap ikan karang.

1.5   Hipotesis

(1)   Fyke net mampu menangkap ikan karang.
(2)   Fyke net merupakan alat yang ramah lingkungan di perairan terumbu karang.

1.6  Kerangka pemikiran

            Terumbu karang adalah habitat di laut yang memiliki tingkat kesuburan tertinggi dengan berdasarkan pada kelimpahan biota yang menggantungkan hidup padanya.  Salah satu biota yang melimpah pada wilayah perairan tersebut yang memiliki potensi yang besar untuk dimanfaatkan adalah ikan karang.
Satu hal yang menimbulkan masalah dalam pemanfaatan ikan karang di Indonesia adalah penggunaan metode penangkapan yang dapat merusak terumbu karang misalnya pengoperasian muro-ami yang secara tidak langsung dapat mengakibatkan kehancuran pada karang bercabang akibat terkena hantaman tongkat dan terinjak oleh kaki para nelayan yang mengoperasikan alat tersebut.  Pengoperasian gill net / trammel net di dasar perairan yang berkarang juga dapat merusak terumbu karang.  Penggunaan bubu juga dapat mematikan karang batu yang digunakan untuk menindih alat penangkap tersebut.
Studi pustaka dilakukan untuk mengkaji alat tangkap yang paling sesuai untuk kondisi terumbu karang, yaitu bersifat pasif agar tidak membentur karang.  Selain itu juga alat tersebut harus dapat menangkap ikan cukup banyak sehingga dari segi ekonomis cukup memberikan keuntungan. Ada sejenis alat baru yang secara hipotesis memenuhi persyaratan tersebut, yakni  fyke netFyke net adalah alat penangkap ikan yang bersifat pasif dan lebih ramah lingkungn karena hasil tangkapannya diperoleh dalam keadaan hidup sehingga keputusan untuk pemanfaatan ikan tersebut berada pada nelayan.
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji teknik pengoperasian fyke net dalam menangkap ikan karang agar dapat dikembangkan sehingga tidak menimbulkan dampak yang dapat merusak lingkungan terumbu karang dan sekaligus dapat memberi hasil tangkapan yang memadai sehingga dapat  menggantikan pengguanan sianida dan bahan peledak dalam operasi penangkapan ikan.
Dalam mengkaji teknik pengoperasian alat penangkap, informasi tentang tingkah laku  ikan merupakan hal yang terpenting karena keberhasilan suatu operasi penangkapan untuk menangkap jenis ikan tertentu sangat ditentukan oleh kesesuaian tingkah laku ikan.  Ikan yang bersifat aktif beruaya ditangkap dengan menggunakan alat penangkap yang dipasang pada jalur ruayanya. Ikan-ikan yang bersifat bergerombol ditangkap dengan alat penangkap yang mampu mengurung ikan di dalam area penangkapan.  Ikan-ikan yang bersifat bersembunyi di dalam liang batu ditangkap dengan menggunakan perangkap yang menyerupai lubang persembunyiannya dan ikan yang bersifat membenamkan diri di dasar perairan ditangkap dengan menggunakan alat yang dapat menyapu dasar perairan.
Gambar 1 di bawah ini adalah skema yang menggambarkan alur pemikiran peneliti dalam melakukan penelitian ini.


 





Identifikasi
masalah
 





Penyelesaian
masalah
 



Fyke net
(alat tangkap alternatif)
 
 
 









Modifikasi alat dan metode penangkapan 
 
Metode

 





                                   tidak                                                                        tidak
                                                                                                        
                                                                   
                                                                            
                                                                        ya
Alat penangkap ikan yang efektif dan ramah lingkungan
 
 


Hasil


Gambar 1  Skema kerangka pemikiran penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA


A.                Terumbu Karang
Terumbu karang adalah sekumpulan hewan karang yang bersimbiosis dengan sejenis tumbuhan alga yang disebutzooxanhellae. Terumbu karang termasuk dalam jenis filum Cnidaria kelas Anthozoa yang memiliki tentakel. Kelas Anthozoa tersebut terdiri dari dua Subkelas yaitu Hexacorallia (atau Zoantharia) dan Octocorallia, yang keduanya dibedakan secara asal-usul, Morfologi dan Fisiologi.  Koloni karang dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut Polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi olehTentakel. Namun pada kebanyakan Spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni. Hewan ini memiliki bentuk unik dan warna beraneka rupa serta dapat menghasilkan CaCO3. Terumbu karang merupakan habitat bagi berbagai spesies tumbuhan laut, hewan laut, dan mikroorganisme laut lainnya yang belum diketahui.
B.                 Ikan Karang
Ikan karang adalah Semua organisme yang sebagian atau seluruh hidupnya tinggal di karang. Jenis jenis ikan karang antara lain : Kakap, Kerapu, Kakatua, ikan napoleon ,dll
C.                Gill Nett
Gill net sering diterjemahkan dengan “jaring insang”, “jaring rahang”, dan lain sebagainya. Istilah “gill net” didasarkan pada pemikiran bahwa ikan-ikan yang tertangkap “gilled-terjerat” pada sekitar operculum nya pada mata jaring. Sedangkan “gill net dasar” atau “bottom gill net” adalah jaring insang, jaring rahang yang cara operasinya ataupun kedudukan jaring pada fishing ground direntangkan pada dasar laut, yang demikian berarti jenis-jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan ialah ikan-ikan dasar (bottom fish) ataupun ikan-ikan damersal, dengan bahan jaring terbuat dari multi fibre.


D.                Bubu
Bubu adalah alat tangkap yang umum dikenal dikalangan nelayan, yang berupa jebakan, dan bersifat pasif. Bubu sering juga disebut perangkap “ traps “ dan penghadang “ guiding barriers “.
Dalam operasionalnya, bubu terdiri dari tiga jenis, yaitu :
1. Bubu Dasar (Ground Fish Pots). Bubu yang daerah operasionalnya berada di dasar perairan.
2. Bubu Apung (Floating Fish Pots). Bubu yang dalam operasional penangkapannya diapungkan.
3. Bubu Hanyut (Drifting Fish Pots). Bubu yang dalam operasional penangkapannya dihanyutkan.

Disamping ketiga bubu yang disebutkan di atas, terdapat beberapa jenis bubu yang lain seperti :
1.        Bubu Jermal. Termasuk jermal besar yang merupakan perangkap pasang surut (tidal trap).
2.        Bubu Ambai. Disebut juga ambai benar, bubu tiang, termasuk pasang surut ukuran kecil.
3.        Bubu Apolo. Hampir sama dengan bubu ambai, bedanya ia mempunyai 2 kantong, khusus menangkap udang rebon.













III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan tempat penelitian

Penelitian lapangan dilakukan selama dua tahun, yaitu bulan Nopember 2008 hingga Oktober 2010.  Daerah yang menjadi lokasi penelitian ini adalah perairan pesisir barat Pulau Selayar di bagian timur laut Pulau Pasi (06o 05’ 21.4” LS dan 120o 27’ 34.0” BT) yang merupakan wilayah Desa Parak, Kecamatan Bontomanai, Kabupaten Selayar, Propinsi Sulawesi Selatan.  Pulau Selayar adalah pulau yang dikelilingi oleh terumbu karang tepi di sepanjang pesisirnya.  Panjang pulau kira-kira 100 km dan lebar terbesar kira-kira 7 km.  (Gambar 2) Pada sisi sebelah barat pulau terdapat paparan lamun dan terumbu karang sejauh 100 hingga 500 m dari garis pantai dengan kedalaman saat air surut 0 s/d 100 cm.  Dibagian tepi luar padang lamun terdapat tubir karang yang curam hingga kedalaman 5 s/d 25 m.  Di pesisir timur pulau hanya terdapat sedikit paparan karang dan yang selebihnya adalah tubir karang yang curam hingga ke kedalaman 3000 m.
Suhu perairan permukaan adalah 29 oC s/d 31 oC.  Perairan di lokasi penelitian cukup cerah dengan kemampuan pantau secara visual hingga pada kedalaman 10 m pada waktu pagi hingga siang hari.  Menjelang sore hari jarak pandang di dalam air semakin menurun terutama bila terjadi turbulensi air laut oleh tiupan angin di siang hari.

3.2  Tahapan Penelitian

Secara keseluruhan penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan, yaitu :
(1)        Studi pustaka untuk mendapatkan jenis alat yang sesuai bagi penangkapan ikan di terumbu karang dan studi pustaka tingkah laku ikan
(2)        Pengambilan data lingkungan dan geografis di lapangan
(3)        Pembuatan desain dan konstruksi fyke net yang sesuai dengan hasil studi pustaka

Copy of lokasi penelitian04.jpg
Gambar 2  Peta lokasi penelitian di perairan karang sebelah barat Pulau Selayar

(4)        Uji coba pengoperasian fyke net untuk menangkap ikan karang yang dikaitkan dengan tingkah laku ikan berdasarkan studi literatur.
(5)        Observasi bawah air dengan menggunakan program “movie” pada kamera digital untuk mengetahui jenis ikan yang berada di sekitar mulut fyke net.
(6)        Pengkajian hasil observasi tingkah laku ikan terhadap fyke net.
(7)        Studi pustaka dan wawancara dengan para nelayan untuk mengatasi temuan permasalahan di lapangan.
(8)        Modifikasi alat sesuai hasil studi dan wawancara dengan para pakar
(9)        Uji coba alat yang telah dimodifikasi
(10)    Observasi terhadap tingkah laku ikan lanjutan
(11)    Pengkajian hasil observasi.  Kalau hasilnya belum sesuai dengan hasil yang diharapkan (hipotesis nol), maka dilakukan kembali studi pustaka, modifikasi desain alat, uji coba alat, observasi tingkah laku ikan dan evaluasi.




























DAFTAR PUSTAKA

Akimichi T.  2006.  Inappropriate activities around coral reefs.  P. 69 – 76.  In: Ministry of the Environment and Japaneese Coral Reef Society [eds].  Coral Reef of Japan. (www.coremoc.go.jp.english/pub/coralreefjapan/ 0206.pdf ; 21 Agustus 2007).

Alcala AC. and Russ GR.  2002.  Status of Philippines coral reef fisheries.  Asian
Fish. Sci. 15: 177 – 192.

Amar EC. Cheong MRT, and Cheong MVT.  1996.  Small-scale fisheries of coral
reefs and the need for community-based resource management in Malalison Island, Philipppines.  Fish. Res. 25:  265 – 277.

Bjordal A.  2002.  The use of technical measures ini responsible fisheries:  regulation of fishing gear. p. 21 – 47.  In: Cochrane KL.  Fishery Manager’s Guidebook:  Management Measures and their Application.  FAO Fisheries Technical Paper 424, Rome.

Dahuri R.  2003.  Keanekaragaman Hayati Laut:  Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia.  PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.  412 hal.

Gebhards S.  1979.  Type and Operation of Inland Commercial Fishing Gear.  Idaho Department of Fish and Game 59 (5) 28 p. (https://research. idfg.idaho.gov/Fisheries Research Report/Volume 059Article005.pdf; 15 Maret 2008)
  
King M.  1995.  Fisheries Biology, Assessment and Management.  2nd ed.  Fishing News Books.  Oxford.  382 p.



Kushima J-A and Miyasaka A.  2003.  Report on the discussions to manage the use of lay nets.  State of Hawaii. Department of Land and Natural Resources.  Division of Aquatic Resources. 22 p. (hawaii.gov/ dlnt/dar/pubs/net_report02.pdf; 11 Maret 2008).

McManus JW.  1996.  Social and economic aspects of reef fisheries and their
management.  p. 249 – 281 In PoluninVC and Roberts CM (eds).  Reef
Fisheries.  Chapman and Hall.

O’Neal JS.  2006.  Fyke Net (in Lentic Habitats and Estuaries). p. 411 – 424 In Johnson DH, Shrier BM, O’Neal JS, Knutzen JA, Augerot S, O’Neal TA and Pearsons TN  (eds). Salmonid Field Protocols HandbookTechniques for Assessing Status and Trends in Salmon and Trout Populations.  American Fisheries Society in Association with State of the Salmon, Portland, Oregon. (www.Stateofthesalmon.org/field protocols/downloads/ SFPH_supp.pdf; 14 Mei 2008).
 
Pet-Soede C, van Densen WLT, Pet JS, and Machiels MAM.  2001.   Impact
of Indoensian coral reef fisheries on fish community structure and the resultant catch composition.  Fish. Res. 51: 35-51

Rounsefell GA. and Everhart WH.  1962.  Fishery Science: Its Methods and
Applications.  John Wiley and Sons, Inc. Newyork.  444 p.  

Schneider JC and Merna JW.  2000.  Fishing Gear.  Chapter 3 in Schneider JC.  (ed.) 2000.  Manual of fisheries survey methods II: with periodic updates.  Michigan Department of Nature Science, Fisheries Special Report 25, Ann Arbour.(www. Michigandnr.com/publications/…/ifr/ifrhome/manual/SMII Chapter 03.pdf; 2 April 2008).

Soadiq S.  2010.  Eksperimen Penangkapan Ikan Karang dengan Menggunakan Fyke Net Modifikasi di kabupaten Selayar. Thesis.  Institut Pertanian Bogor.  72 hal.

Tim penyusun Pedoman Umum COREMAP II.  2004.  Pedoman Umum Pengelolaan Proyek COREMAP II.  Departemen Kelautan dan Perikanan.  Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.  Program Rehabilitasi dan Pengelolaan terumbu Karang Tahap II.  185 hal.

Valdemarsen JW and Suuronen P.  2003.  Modifying Fishing Gear to Achieve
Ecosystem Objective. P. 321 – 341.  In: Sinclair M and Valdimarsson G [eds]. Responsible Fisheries in the Marine Ecosystem.  Food and Agriculture Organization of the United Nations and CABI Publishing, Cambridge, MA



Sumber:http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/1394/DISERTASI-FINAL%20BAB-1h.docx?sequence=1

No comments:

Post a Comment