Penggunaan Fyke nets sebagai alternatif
alat tangkap ikan karang di Perairan Kabupaten Kepulauan Selayar
1
PENDAHULUAN UMUM
1.1 Latar Belakang
Terumbu karang Indonesia diperkirakan seluas 85.707 km2 yang
terdiri atas terumbu tepi yang terdapat di 95 % pulau Indonesia yang jumlahnya
17.500 buah, terumbu penghalang yang terdapat di beberapa tempat di Selat
Makassar dan Kalimantan Timur, terumbu cincin atau atol di Taka Bonerate dan “oceanic platform reef” (Dahuri
2003). Luas terumbu karang di Indonesia
hanya sekitar 15 % dari luas terumbu karang dunia, sungguhpun demikian dengan
melihat tingkat keragaman jenis terumbu karang Indonesia yang sangat tinggi
terutama dikawasan Maluku dan Sulawesi menjadikan Indonesia sebagai pusat
kawasan terumbu karang dunia (Dahuri 2003; Tim penyusun Pedoman Umum COREMAP II
2004).
Seperti halnya di negara-negara kepulauan di dunia, ekosistem terumbu
karang Indonesia menyediakan sumber makanan yang penting berupa ikan, krustasea,
dan moluska. Produksi ikan karang
Indonesia dapat mencapai 30 ton/km2/tahun (Tim penyusun Pedoman Umum
COREMAP II 2004). Hal inilah yang
membuat perikanan terumbu karang merupakan salah satu sumber penghidupan utama
bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil (King 1995).
Ikan karang adalah sumberdaya
yang dapat terbaharukan. Secara alami
ikan-ikan dapat memperbaharui kondisi stoknya dengan cara bereproduksi. Seekor induk ikan karang dapat menghasilkan
anak dalam jumlah yang cukup besar, namun
sifat ikan karang yang bertumbuh secara lambat, membuat stok ikan karang sangat
rentan terhadap upaya penangkapan berlebih (McManus 1996). Agar sumberdaya ikan karang dapat tetap
lestari upaya pengelolaan yang bertanggungjawab harus ditegakkan dengan cara
menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan.
Saat ini banyak dilaporkan
bahwa telah terjadi kerusakan terumbu karang di berbagai wilayah dunia. Kerusakan ini diakibatkan oleh proses alami
dan faktor antropogenik pada berbagai skala, mulai skala kecil yang disebabkan
oleh benturan jangkar, predasi oleh biota laut, hingga berskala besar berupa
pemutihan (bleaching) pada suatu ekosistem terumbu karang yang luas
akibat kenaikan suhu perairan yang berkepanjangan. Namun kerusakan yang diakibatkan oleh aktivitas
manusia jauh lebih besar dampaknya dibandingkan kerusakan yang terjadi secara
alamiah tersebut (Pet-Soede et al.
2001; Akimichi 2006).
Salah satu aktivitas terbesar
manusia di perairan terumbu karang adalah kegiatan penangkapan ikan dengan
menggunakan berbagai alat penangkap ikan, misalnya bubu, gillnet, muro ami,
pancing, panah, dan sero. Selain itu ada
dua cara lain yang juga banyak digunakan secara tersembunyi adalah penggunaan
bahan peledak dan bahan beracun yang keduanya telah terbukti sangat merusak
habitat terumbu karang (Pet-Soede et al.
2001).
Dari sekian banyak alat
penangkap ikan tersebut di atas, muro ami
atau di Selayar dikenal dengan nama ”samba’” yang secara fisik hampir tidak
bersentuhan dengan terumbu karang, tetapi pada pengoperasiannya,
tongkat-tongkat para nelayan yang digunakan untuk menggiring ikan karang menuju
alat ini ternyata dapat menghancurkan terumbu karang terutama karang bercabang
sehingga alat ini dikategorikan sebagai alat yang tidak ramah lingkungan.
Gillnet yang merupakan
alat pasif dan selektif yang dikategorikan sebagai alat yang ramah
lingkungan. Namun gillnet menjadi tidak ramah lingkungan apabila dioperasikan di
perairan berkarang pada malam hari karena berpeluang besar untuk berbeturan
dengan karang (Kushima and Miyasaka 2003).
Pancing merupakan salah satu
alat yang banyak digunakan oleh para nelayan tradisional untuk menangkap ikan
karang. Peralatan pancing sendiri tidak
merusak karang tetapi benturan jangkar perahu yang digunakan pada saat
memancing yang merusak karang. Untuk
dapat meningkatkan keramahan alat pancing yang dioperasikan di perairan terumbu
karang, modifikasi yang dilakukan bukan pada alatnya tetapi metode penangkapan
yang digunakan. Di daerah-daerah
konservasi terumbu karang misalnya di Taka Bonerate, Kabupaten Selayar telah
dilakukan pemasangan jangkar permanen dibeberapa tempat untuk dapat digunakan
oleh para nelayan pemancing menambatkan perahunya saat melakukan operasi
penangkapan sehingga para nelayan tidak lagi membuang jangkar di sembarang
tempat yang dapat mengakibatkan kehancuran
karang.
Saat ini bubu (trap) dan sero (fence trap) adalah sejenis alat yang paling banyak digunakan untuk
menangkap ikan karang (Alcala dan Russ
2002) dan telah banyak dioperasikan di Indonesia dengan hasil yang memuaskan.
Akan tetapi kedua alat ini memiliki banyak keterbatasan. Hasil tangkapan per unit bubu relatif sangat
terbatas dan pada pengoperasiannya umumnya menggunakan terumbu karang untuk
alat kamuflase. Oleh karena hasil
tangkapan per unit bubu terbatas akibat sifat kejenuhan alat (Jennings et al. 2001), maka dioperasikan
sekaligus cukup banyak bubu yang diikatkan pada satu untaian tali. Dengan cara ini pada saat penurunan dan
penarikan alat sering terjadi benturan antara bubu dengan dasar perairan yang
dapat mengakibatkan kerusakan pada dasar perairan terutama apabila terdapat
terumbu karang (Valdemarsen and Suuronen 2003).
Keterbatasan pada sero adalah
hanya bisa dioperasikan di wilayah pesisir yang dangkal di pesisir pantai
sehingga alat ini dapat menghalangi alur pelayaran. Selain itu dimensi alat yang besar membuat
harganya juga mahal. Keterbatasan lain
sero pada beberapa tempat di wilayah perairan pesisir barat Pulau Selayar
adalah pada musim angin muson barat alat tersebut harus dibongkar agar tidak
hancur oleh hempasan gelombang dan terpaan batang kayu yang hanyut dibawa
gelombang.
Dengan melihat
keterbatasan-keterbatasan pada kedua alat ini maka diperlukan suatu alat
penangkap ikan karang yang diharapkan mampu menutupi keterbatasan-keterbatasan
tersebut. Dari sekian banyak alat
penangkap ikan yang telah ada, fyke net
dianggap cocok berdasarkan penilaian dari bentuknya yang serupa dangan sero
juga serupa dengan bubu.
Kelebihan fyke net terhadap bubu dilihat dari segi konstruksi Fyke net yang memiliki ruang penampungan
ikan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan apa yang dimiliki oleh bubu sehingga
kemampuan tangkapnya juga relatif lebih besar dibandingkan dengan kemampuan
bubu ditinjau dari segi kejenuhan alat.
Dengan demikian alat ini tidak perlu dioperasikan sekaligus dalam jumlah
yang banyak seperti pada bubu yang sering menimbulkan permasalah dengan
terbenturnya bubu pada terumbu karang.
Kelebihan fyke net terhadap sero adalah pada konstruksi tempat penyimpanan
ikan yang tertutup sedangkan pada
sero terbuka di bagian atas. Hal ini membuat
fyke net dapat dioperasikan di
perairan yang lebih dalam dibandingkan tempat pengoperasian sero. Dengan demikian pengoperasian fyke net tidak menghalangi alur
pelayaran dan selain itu alat ini memiliki peluang yang lebih besar untuk menangkap
ikan-ikan karang dengan ukuran yang lebih besar.
Sungguhpun terlihat bahwa fyke net memiliki banyak kelebihan
tetapi apakah pada pengoperasian diperairan terumbu karang fyke net akan mampu menangkap ikan karang seperti yang diharapkan
dan apakah teknik pengoperasiannya akan memenuhi kriteria ramah lingkungan
masih merupakan hal yang perlu diuji.
Oleh sebab itu pada penelitian ini dilakukan serangkaian pengujian
terhadap alat tersebut karena fyke net
selama ini bukanlah alat yang digunakan untuk menangkap ikan karang.
Fyke net adalah
sejenis perangkap ikan yang banyak dioperasikan oleh para nelayan di seluruh
dunia. Menurut O’Neal (2006) fyke net
berasal dari Finlandia dan telah dioperasikan di laut untuk menangkap herring, whitefish dan salmon. Alat ini merupakan modifikasi dari alat ”salmon wing net” yang telah digunakan
beratus tahun yang lalu. Fyke net adalah alat penangkap ikan yang
banyak dioperasikan di perairan dangkal.
Alat ini banyak digunakan pada kegiatan penangkapan ikan di sungai
karena dapat dioperasikan pada perairan yang berarus. Dalam kondisi demikian alat ini biasa
dioperasikan tanpa menggunakan sayap atau penaju (Gebhards 1979). Pada
daerah dengan arah arus yang tidak tetap fyke
net memiliki sayap yang pendek sedangkan di perairan pesisir dengan arus
yang relatif lebih lemah, fyke net
dioperasikan dengan menggunakan sayap yang panjang untuk menangkap flounder dan ikan demersal lainnya. Pada kondisi seperti ini sayap fyke net diberi pemberat dan pelampung
agar bisa berdiri tegak tanpa harus ditopang oleh tiang patok. Di sungai yang
berarus, fyke net biasanya banyak
menangkap udang. Alat ini juga digunakan untuk menangkap ikan
peruaya misalnya sidat (Anguilla sp)
(Rounsefell and Everhart 1962; Schneider dan Merna 2000; O’Neal 2006).
Terpilihnya fyke net terpilih sebagai alat uji
berdasarkan serangkaian studi pustaka
yang menemukan bahwa alat ini secara hipotesis bersifat ramah terhadap
lingkungan terumbu karang karena sifatnya yang pasif terhadap ikan target
sehingga kecil peluang bagi alat ini untuk membentur terumbu karang, sebagaimana
halnya pada alat penangkapan ikan yang bersifat pasif yang menjadikan ikan yang
aktif bergerak sebagai target penangkapannya (Jennings et al. 2001; Soadiq 2010). Oleh sebab itu penelitian ini dilakukan untuk
mengamati pola gerak ikan di sekitar fyke
net dalam proses penangkapan maupun proses melepaskan diri untuk dapat
mengetahui desain yang baik bagi alat ini untuk menjadi alat yang lebih efektif
dalam menangkap ikan.
Penelitian pola gerak ikan
karang biasanya ditujukan untuk penemuan jalur ruaya ikan-ikan tertentu untuk
tujuan kegiatan penangkapan. Selain itu
penelitian tersebut juga dapat ditujukan untuk dapat mencegah penempatan alat
tangkap di jalur ruaya ikan yang sedang menuju tempat pemijahannya agar upaya
plestarian ikan karang dapat dilakukan.
Dalam penelitian ini pola gerak ikan yang diamati tidak mencakup pola
gerak migrasi menuju tempat pemijahan (pola gerak musiman) tetapi hanya
dibatasi pada pola gerak acak di sekitar alat tangkap uji dan pola gerak aktif
yang dipengaruhi oleh kondisi siang dan malam.
Fyke net adalah alat
tangkap uji dalam penelitian ini. Alat
ini dipilih berdasarkan hasil studi pustaka yang dilakukan selama 3 bulan untuk
menelusuri alat penangkap ikan yang ada di dunia saat ini yang secara hipotesis
mampu menangkap ikan karang dalam jumlah yang memadai dari segi ekonomis seperti
didaerah asalnya 5-8 kg perhari operasi (Hemingway dan Elliott 2002) namun tidak merusak stok ikan
karang maupun terumbu karang sebagai
habitat ikan tersebut.
1.2
Perumusan Masalah
Hal utama yang dituntut dari
suatu alat tangkap yang dioperasikan di terumbu karang adalah tingkat
keramahannya pada lingkungan, yakni tidak merusak terumbu karang sebagai
habitat utama pada ekosistem tersebut dan memiliki tingkat selektivitas yang
tinggi agar alat tidak menangkap juvenil ikan dan penyu yang banyak terdapat di
ekosistem tersebut. Namun alat tangkap
yang dianggap ramah di tempat lain ternyata tidak ramah di perairan terumbu
karang karena dapat merusak terumbu karang.
Sungguhpun pada kegiatan
perikanan di terumbu karang para nelayan menggunakan alat tangkap tradisional
dan berskala kecil yang dioperasikan untuk menangkap ikan secara individu atau
berkelompok, beberapa alat dikategorikan sebagai alat yang tidak merusak
lingkungan, misalnya pancing, ada yang
dikategorikan merusak karang yang rapuh, misalnya perangkap dan jaring insang
tetap dan ada yang dikategorikan sangat merusak, misalnya penggunaan bahan
peledak dan bahan beracun dalam kegiatan penangkap ikan. (Amar et al. 1996; Alcala dan Russ 2002).
Anggapan bahwa alat penangkap
yang tergolong pasif misalnya pancing sebagai alat yang tidak merusak
lingkungan tetapi secara tidak langsung jangkar yang digunakan untuk menahan
perahu dalam pengoperasian pancing dapat membentur terumbu karang hingga
rusak. Bubu yang dianggap alat yang
tidak merusak lingkungan menjadi alat yang merusak karena nelayan menggunakan
karang sebagai pemberat dan untuk penyamaran alat tersebut. Muro-ami adalah alat tangkap pasif
yang hampir tidak bersentuhan dengan terumbu karang tetapi benturan tongkat
para nelayan saat menggiring ikan ke dalam kantong alat tersebut dapat
menghancurkan karang (McManus 1996).
Alat tangkap aktif misalnya pukat
harimau, pukat cincin dan pukat pantai
dikategorikan sebagai alat yang sangat merusak terumbu karang. Menurut Bjordal (2002) saat ini telah banyak
paparan terumbu karang dunia yang telah dirusak oleh trawl dan memerlukan lebih
dari seratus tahun untuk dapat memulihkannya.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka sebetulnya yang menyebabkan suatu
alat tangkap menjadi alat yang merusak lingkungan sangat ditentukan oleh metode
pengoperasian yang digunakan oleh nelayan.
Disinilah pentingnya penerapan suatu manajemen dalam perikanan agar
dampak negatif yang dapat timbul dari kegiatan penangkapan ikan dapat
diminimalkan.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan umum
Mendapatkan alat penangkap ikan yang lebih efektif dalam menangkap ikan
dan lebih ramah pada lingkungan terumbu karang.
1.3.2
Tujuan khusus
(1) Mengkaji desain konstruksi dan teknik
pengoperasian fyke net untuk
pengoperasian di perairan terumbu karang.
(2) Mengkaji tingkat keramahan model fyke
net berdasarkan kondisi hasil tangkapan, selektivitas dan teknik
pengoperasian alat.
1.4 Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan kemampuan fyke net
dalam menangkap ikan karang dan dapat menunjukkan tingkat keramahan alat tersebut terhadap ekosistem terumbu karang
sehingga dapat menjadi alat penangkap alternatif dalam menangkap ikan karang.
1.5 Hipotesis
(1) Fyke
net mampu menangkap ikan karang.
(2) Fyke net merupakan alat yang ramah lingkungan di perairan
terumbu karang.
1.6
Kerangka pemikiran
Terumbu karang adalah habitat di laut
yang memiliki tingkat kesuburan tertinggi dengan berdasarkan pada kelimpahan
biota yang menggantungkan hidup padanya.
Salah satu biota yang melimpah pada wilayah perairan tersebut yang
memiliki potensi yang besar untuk dimanfaatkan adalah ikan karang.
Satu hal yang menimbulkan
masalah dalam pemanfaatan ikan karang di Indonesia adalah penggunaan metode
penangkapan yang dapat merusak terumbu karang misalnya pengoperasian muro-ami
yang secara tidak langsung dapat mengakibatkan kehancuran pada karang bercabang
akibat terkena hantaman tongkat dan terinjak oleh kaki para nelayan yang
mengoperasikan alat tersebut. Pengoperasian
gill net / trammel net di dasar perairan yang berkarang juga dapat
merusak terumbu karang. Penggunaan bubu
juga dapat mematikan karang batu yang digunakan untuk menindih alat penangkap
tersebut.
Studi pustaka dilakukan untuk
mengkaji alat tangkap yang paling sesuai untuk kondisi terumbu karang, yaitu
bersifat pasif agar tidak membentur karang.
Selain itu juga alat tersebut harus dapat menangkap ikan cukup banyak
sehingga dari segi ekonomis cukup memberikan keuntungan. Ada sejenis alat baru yang
secara hipotesis memenuhi persyaratan tersebut, yakni fyke net. Fyke net adalah
alat penangkap ikan yang bersifat pasif dan lebih ramah lingkungn karena hasil
tangkapannya diperoleh dalam keadaan hidup sehingga keputusan untuk pemanfaatan
ikan tersebut berada pada nelayan.
Penelitian ini dilakukan untuk
mengkaji teknik pengoperasian fyke net dalam menangkap ikan karang agar
dapat dikembangkan sehingga tidak menimbulkan dampak yang dapat merusak
lingkungan terumbu karang dan sekaligus dapat memberi hasil tangkapan yang memadai
sehingga dapat menggantikan pengguanan
sianida dan bahan peledak dalam operasi penangkapan ikan.
Dalam mengkaji teknik
pengoperasian alat penangkap, informasi tentang tingkah laku ikan merupakan hal yang terpenting karena
keberhasilan suatu operasi penangkapan untuk menangkap jenis ikan tertentu
sangat ditentukan oleh kesesuaian tingkah laku ikan. Ikan yang bersifat aktif beruaya ditangkap
dengan menggunakan alat penangkap yang dipasang pada jalur ruayanya. Ikan-ikan
yang bersifat bergerombol ditangkap dengan alat penangkap yang mampu mengurung
ikan di dalam area penangkapan.
Ikan-ikan yang bersifat bersembunyi di dalam liang batu ditangkap dengan
menggunakan perangkap yang menyerupai lubang persembunyiannya dan ikan yang
bersifat membenamkan diri di dasar perairan ditangkap dengan menggunakan alat
yang dapat menyapu dasar perairan.
Gambar 1 di bawah ini adalah
skema yang menggambarkan alur pemikiran peneliti dalam melakukan penelitian
ini.
![]() |









Penyelesaian

![]() |
|
![]() |

|
Metode
![]() |




![]() |
|||
|
Hasil
Gambar 1
Skema kerangka pemikiran penelitian
1.7 Metodologi umum
1.7.1 Waktu dan tempat penelitian
Penelitian lapangan dilakukan selama dua tahun, yaitu bulan Nopember 2008
hingga Oktober 2010. Daerah yang menjadi
lokasi penelitian ini adalah perairan pesisir barat Pulau Selayar di bagian
timur laut Pulau Pasi (06o 05’ 21.4” LS dan 120o 27’
34.0” BT) yang merupakan wilayah Desa Parak, Kecamatan Bontomanai, Kabupaten
Selayar, Propinsi Sulawesi Selatan.
Pulau Selayar adalah pulau yang dikelilingi oleh terumbu karang tepi di
sepanjang pesisirnya. Panjang pulau kira-kira 100 km dan lebar terbesar
kira-kira 7 km. (Gambar 2) Pada sisi
sebelah barat pulau terdapat paparan lamun dan terumbu karang sejauh 100 hingga
500 m dari garis pantai dengan kedalaman saat air surut 0 s/d 100 cm. Dibagian tepi luar padang lamun terdapat
tubir karang yang curam hingga kedalaman 5 s/d 25 m. Di pesisir timur pulau hanya terdapat sedikit
paparan karang dan yang selebihnya adalah tubir karang yang curam hingga ke
kedalaman 3000 m.
Suhu perairan permukaan adalah
29 oC s/d 31 oC. Perairan
di lokasi penelitian cukup cerah dengan kemampuan pantau secara visual hingga
pada kedalaman 10 m pada waktu pagi hingga siang hari. Menjelang sore hari jarak pandang di dalam
air semakin menurun terutama bila terjadi turbulensi air laut oleh tiupan angin
di siang hari.
1.7.2
Tahapan Penelitian
Secara keseluruhan penelitian
ini terdiri atas beberapa tahapan, yaitu :
(1)
Studi
pustaka untuk mendapatkan jenis alat yang sesuai bagi penangkapan ikan di
terumbu karang dan studi pustaka tingkah laku ikan
(2)
Pengambilan
data lingkungan dan geografis di lapangan
(3)
Pembuatan
desain dan konstruksi fyke net yang sesuai dengan hasil studi pustaka

Gambar 2
Peta lokasi penelitian di perairan karang sebelah barat Pulau Selayar
(4)
Uji
coba pengoperasian fyke net untuk menangkap ikan karang yang dikaitkan
dengan tingkah laku ikan berdasarkan studi literatur.
(5)
Observasi
bawah air dengan menggunakan program “movie” pada kamera digital untuk
mengetahui jenis ikan yang berada di sekitar mulut fyke net.
(6)
Pengkajian
hasil observasi tingkah laku ikan terhadap fyke
net.
(7)
Studi
pustaka dan wawancara dengan para nelayan untuk mengatasi temuan permasalahan
di lapangan.
(8)
Modifikasi
alat sesuai hasil studi dan wawancara dengan para pakar
(9)
Uji
coba alat yang telah dimodifikasi
(10) Observasi terhadap tingkah laku ikan
lanjutan
(11) Pengkajian hasil observasi. Kalau hasilnya belum sesuai dengan hasil yang
diharapkan (hipotesis nol), maka dilakukan kembali studi pustaka, modifikasi
desain alat, uji coba alat, observasi tingkah laku ikan dan evaluasi.
(12) Penulisan disertasi
DAFTAR PUSTAKA
Akimichi
T. 2006.
Inappropriate activities around coral reefs. P. 69 – 76.
In: Ministry of
the Environment and Japaneese Coral Reef Society [eds]. Coral Reef of Japan. (www.coremoc.go.jp.english/pub/coralreefjapan/
0206.pdf ; 21 Agustus 2007).
Alcala AC. and Russ GR. 2002.
Status of Philippines coral reef fisheries. Asian
Fish. Sci. 15: 177 – 192.
Amar EC. Cheong MRT, and Cheong
MVT. 1996. Small-scale fisheries of coral
reefs and the
need for community-based resource management in Malalison Island,
Philipppines. Fish. Res. 25: 265 – 277.
Bjordal A. 2002. The use of technical measures ini responsible
fisheries: regulation of fishing gear.
p. 21 – 47. In: Cochrane KL. Fishery Manager’s Guidebook: Management Measures and their Application. FAO Fisheries Technical Paper 424, Rome.
Dahuri R. 2003. Keanekaragaman
Hayati Laut: Aset Pembangunan
Berkelanjutan Indonesia. PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 412
hal.
Gebhards S. 1979. Type and Operation of Inland Commercial
Fishing Gear. Idaho Department of Fish
and Game 59 (5) 28 p. (https://research. idfg.idaho.gov/Fisheries Research
Report/Volume 059Article005.pdf; 15 Maret 2008)
King M. 1995. Fisheries
Biology, Assessment and Management.
2nd ed. Fishing News
Books. Oxford. 382 p.
Kushima J-A and Miyasaka A.
2003. Report on the discussions
to manage the use of lay nets. State of
Hawaii. Department of Land and Natural Resources. Division of Aquatic Resources. 22 p.
(hawaii.gov/ dlnt/dar/pubs/net_report02.pdf; 11 Maret 2008).
McManus JW.
1996. Social and economic
aspects of reef fisheries and their
management. p. 249 – 281 In PoluninVC and Roberts CM (eds).
Reef
Fisheries. Chapman and Hall.
O’Neal JS. 2006. Fyke Net (in Lentic Habitats and Estuaries).
p. 411 – 424 In Johnson DH, Shrier
BM, O’Neal JS, Knutzen JA, Augerot S, O’Neal TA and Pearsons TN (eds). Salmonid
Field Protocols Handbook: Techniques for Assessing Status and Trends
in Salmon and Trout Populations.
American Fisheries Society in Association with State of the Salmon,
Portland, Oregon. (www.Stateofthesalmon.org/field
protocols/downloads/ SFPH_supp.pdf; 14 Mei 2008).
Pet-Soede C, van Densen WLT, Pet JS, and Machiels MAM. 2001.
Impact
of Indoensian coral reef
fisheries on fish community structure and the resultant catch composition. Fish. Res. 51: 35-51
Rounsefell GA. and Everhart WH. 1962. Fishery Science: Its Methods and
Applications. John Wiley and Sons, Inc. Newyork. 444 p.
Schneider JC and Merna JW.
2000. Fishing Gear. Chapter 3 in Schneider JC. (ed.) 2000.
Manual of fisheries survey methods II: with periodic updates. Michigan Department of Nature Science,
Fisheries Special Report 25, Ann Arbour.(www.
Michigandnr.com/publications/…/ifr/ifrhome/manual/SMII Chapter 03.pdf; 2 April
2008).
Soadiq S. 2010. Eksperimen
Penangkapan Ikan Karang dengan Menggunakan Fyke Net Modifikasi di kabupaten
Selayar. Thesis. Institut Pertanian
Bogor. 72 hal.
Tim penyusun Pedoman Umum COREMAP II.
2004. Pedoman Umum Pengelolaan
Proyek COREMAP II. Departemen Kelautan
dan Perikanan. Direktorat Jenderal
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Program Rehabilitasi dan Pengelolaan
terumbu Karang Tahap II. 185 hal.
Valdemarsen JW and Suuronen
P. 2003.
Modifying Fishing Gear to Achieve
Ecosystem Objective. P. 321 – 341. In:
Sinclair M and Valdimarsson G [eds]. Responsible Fisheries in the Marine
Ecosystem. Food and Agriculture
Organization of the United Nations and CABI Publishing, Cambridge, MA
No comments:
Post a Comment