Oleh : Ahmad Dwi Kurniawan,S.Pi
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan yang pesat di bidang industri di satu sisi
akan meningkatkan kualitas hidup manusia yaitu dengan meningkatkan pendapatan
masyarakat, tetapi di lain sisi akan menurunkan tingkat kesehatan masyarakat
akibat limbah dan pencemaran yang
ditimbulkan oleh industri-industri dan rumah tangga. Salah satu pencemaran air
adalah masuknya logam berat dalam perairan. Peningkatan kadar logam berat ini
dalam perairan akan mencemari organisme yang hidup di perairan tersebut seperti
kerang, ikan dan biota lainnya. Pemanfaatan biota ini sebagai bahan konsumsi
makanan akan membahayakan kesehatan manusia
nan yang sudah lama
Kerang Hijau (Perna viridis Linn.) merupakan salah satu komoditi perikanan yang sudah lama
Kerang Hijau (Perna viridis Linn.) merupakan
salah satu komoditi perikanan yang sudah lama dikenal dan dewasa ini kerang
jenis tersebut telah banyak dibudidayakan. Teknik budidayanya mudah dikerjakan,
tidak memerlukan modal yang besar dan dapat dipanen setelah berumur 6-7 bulan.
Hasil panen Kerang Hijau per hektar per tahun dapat mencapai 200-300 ton kerang
utuh atau sekitar 60-100 ton daging kerang (Porsepwandi, 1998).
Hutagalung (1991), menyatakan kandungan logam berat
tertinggi ditemukan pada jenis kerang-kerangan karena organisme ini merupakan
organisme invertebrata filter feeder dan hidup menetap. Selanjutnya
Hutagalung (1991), menyatakan bahwa kandungan logam berat dalam daging
organisme perairan biasanya lebih tinggi daripada kandungan logam berat pada
perairannya sendiri, karena logam berat tersebut akan terakumulasi di dalam dagingnya.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka perlu
adanya suatu upaya untuk menurunkan kandungan logam berat pada daging Kerang Hijau
sehingga pengaruh negatif terhadap kesehatan masyarakat yang mengkonsumsinya
dapat dicegah secara dini. Logam berat Hg, Cd, dan Pb
diambil sebagai logam berat yang direduksi karena menurut Hutagalung (1991),
ketiga logam berat ini mempunyai tingkat toksisitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan logam berat lainnya serta menurut SNI batas maksimal Hg
yang ada pada bahan baku merupakan batas maksimal terkecil dibandingkan dengan
jenis logam berat lain yaitu sebesar 0,5 mg/kg.
1.2. Permasalahan
1.2. Permasalahan
Pencemaran logam berat Hg, Cd, dan Pb pada
daging Kerang Hijau akan menyebabkan keracunan bagi masyarakat yang
mengkonsumsinya karena logam berat tersebut termasuk jenis logam berat yang
mempunyai tingkat toksisitas tinggi serta bersifat menumpuk/akumulatif pada
tubuh manusia yang mengkonsumsinya. Menurut LeCoultre (2001), akibat yang
ditimbulkan karena keracunan logam berat Hg antara lain adalah neurotoksik
(merusak syaraf) dan teratotoksik (kerusakan pada kromosom yang dapat mengakibatkan
kemandulan), sedangkan akibat yang ditimbulkan oleh keracunan Cd adalah
kerusakan hati, ginjal, paru-paru dan tulang serta bersifat karsinogen. Keracunan
logam Pb akan menyebabkan kerusakan paru-paru dan kerusakan syaraf
(neurotoksik).
1.3. Pendekatan Masalah
Saat ini meskipun
sudah ada himbauan larangan mengkonsumsi Kerang Hijau yang berasal dari
perairan Teluk Jakarta, tetapi masih banyak ditemui produk perikanan ini di
pasaran bebas yang dikonsumsi masyarakat. Pemantauan terhadap kadar logam berat
Hg, Cd, dan Pb dalam daging Kerang Hijau dilakukan untuk memonitor kadar logam
berat tersebut dalam daging Kerang Hijau yang berasal dari perairan Teluk
Jakarta.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kadar logam berat
yang terkandung dalam daging Kerang Hijau yang beredar di pasaran.
2. Untuk memberikan
rekomendasi terkait kandungan logam
berat Hg, Cd, dan Pb pada daging Kerang Hijau.
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi terkait kandungan logam berat Hg, Cd, dan Pb pada daging Kerang
Hijau (Perna viridis Linn.) serta dapat memberikan informasi sebagai
monitoring pencemaran logam berat khususnya logam Hg, Cd, dan Pb di perairan
Teluk Jakarta.
1.6. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari - Juni 2015 bertempat di Laboratorium Kimia Balai Besar Riset
Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Jakarta.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kerang Hijau (Perna viridis Linn.)
Kerang
Hijau (Perna viridis Linn.) merupakan
salah satu jenis kerang yang termasuk dalam golongan moluska (binatang lunak)
yang bercangkang dua (bivalvia), dengan insang yang berlapis-lapis
(lamellabranchia), berkaki kapak (palecypod) dan umumnya hidup di laut
(Irwansyah, 1995).
Klasifikasi
Kerang Hijau (Perna viridis Linn.)
menurut Bishop (2005), adalah sebagai berikut :
Filum :
Mollusca
Klass :
Bivalvia
Ordo :
Lamellabranchia atau Filibranchia
Famili :
Mytilidae
Genus :
Perna
Spesies :
Perna viridis Linn.
Kerang
Hijau pada umumnya tersebar luas di banyak muara sungai perairan Indonesia dan
perairan tropika lainnya. Kerang Hijau umumnya hidup menempel pada dasar
(substrat) yang keras seperti kayu, batu, bangunan beton, lumpur dan lain-lain
(Irwansyah, 1995).
Kerang
Hijau termasuk salah satu kerang yang bernilai ekonomis tinggi yang produksinya
cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Kerang ini termasuk makanan yang baik
untuk kesehatan karena dalam 100 gram daging Kerang Hijau mengandung protein
11,9 gr, lemak 2,24 gr, karbohidrat 3,69 gr, serta berbagai mineral, vitamin,
dan kolesterol (Hartanti, 1998).
Kerang
Hijau sering disebut sebagai highly specialized filter feeder yang
sering digunakan sebagai bioindikator pencemaran perairan karena organisme ini
bersifat menetap, penyebarannya luas, masih mampu hidup pada daerah tercemar,
dominan di laut dangkal dan dapat mengakumulasi logam berat dari perairan.
Makanan Kerang Hijau terdiri dari jasad-jasad renik terutama fitoplankton dan
partikel-partikel organik serta zooplankton (Irwansyah, 1995).
2.2.Pencemaran dan Toksisitas Logam Berat
Hutagalung (1991), mendefinisikan pencemaran
yaitu masuknya atau dimasukkannya zat atau energi oleh manusia baik secara
langsung maupun tidak langsung ke dalam lingkungan laut yang menyebabkan efek
membahayakan bagi kesehatan manusia. Suatu lingkungan hidup dikatakan tercemar apabila telah terjadi
perubahan-perubahan dalam tatanan lingkungan tersebut sebagai akibat dari
masuknya bahan-bahan pencemar atau polutan (Palar, 1994).
Salah satu unsur pencemar perairan yang
bersifat cukup toksik dan senantiasa perlu diwaspadai adalah logam berat.
Irwansyah (1995), menyatakan bahwa pengaruh pencemaran logam berat dapat
menimbulkan berbagai masalah, antara lain:
-
Berhubungan
dengan estetika seperti perubahan bau, warna, dan rasa air.
-
Menimbulkan
bahaya bagi kehidupan tanaman dan hewan.
-
Berbahaya
bagi kehidupan manusia.
-
Menyebabkan kerusakan pada ekosistem perairan.
Logam berat dalam keadaan murni umumnya
mempunyai sifat kurang berbahaya dibandingkan dengan senyawanya. Senyawa logam
berat organik lebih berbahaya daripada senyawa logam berat anorganik. Daya
racun atau toksisitas logam berat tersebut tergantung dari logam lain, usia dan
aktifitas organisme. Hg dalam bentuk organik lebih toksik daripada bentuk
anorganik. Logam Mn, Fe dan Se dapat mengurangi daya toksik Hg (bersifat
antagonis), sedangkan Cu dapat menambah daya toksik Hg dan Pb (bentuk sinergis)
(Hutagalung, 1991).
Menurut Darmono (2001) dalam Dinata (2004), ada beberapa faktor yang memengaruhi daya
toksisitas logam dalam air terhadap makhluk yang hidup di dalamnya, di
antaranya adalah:
1.
Bentuk ikatan kimia dari logam yang terlarut.
2.
Pengaruh interaksi antara logam dan jenis toksikan lainnya.
3.
Pengaruh lingkungan seperti suhu, kadar garam, pH dan kadar oksigen yang
terlarut dalam air.
4.
Kondisi hewan, fase siklus hidup (telur, larva, dewasa), besarnya ukuran
organisme, jenis kelamin, dan kecukupan kebutuhan nutrisi.
5.
Kemampuan hewan menghindar dari pengaruh polusi atau pencemaran.
6.
Kemampuan organisme untuk beraklimatisasi terhadap bahan toksik logam.
Berdasarkan sifat kimia dan fisikanya, tingkat atau daya
racun logam berat terhadap hewan air dapat diurutkan (dari tinggi ke rendah) sebagai
berikut; merkuri (Hg), kadmium (Cd), seng (Zn), timah hitam (Pb), krom (Cr),
nikel (Ni), dan kobalt (Co) (Sutamiharja dkk, 1982). Menurut Darmono (1995),
Urutan toksisitas logam berat dari yang tertinggi ke yang paling rendah
terhadap manusia yang mengkonsumsi ikan yang tercemar adalah Hg2+>Cd2+>Ag2+>Ni2+>Pb2+>As2+>Zn2+.
Sedangkan menurut Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1990),
sifat toksisitas logam berat dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelompok, yaitu
yang bersifat toksik tinggi yang terdiri dari Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn. Bersifat
toksik sedang terdiri dari unsur-unsur Cr, Ni, dan Co, sedangkan yang bersifat
toksik rendah terdiri atas unsur Mn dan Fe. Selain itu, penurunan pH, DO dan
salinitas akan menaikkan daya toksik dari logam berat (Hutagalung, 1991).
Irwansyah (1995), menyatakan kemampuan organisme menyerap
logam berat di perairan berbeda-beda. Umumnya logam berat sampai ke organisme
melalui absorbsi, rantai makanan, dan insang tergantung pada jenis
organismenya. Adapun cara penyerapan logam berat oleh berbagai organisme adalah
sebagai berikut :
1.
Phytoplankton
menyerap logam berat terbesar di perairan melalui adsorbsi dan umumnya dalam
bentuk anorganik.
2.
Zooplankton
menyerap logam berat melalui makanan.
3.
Benthos
menyerap logam berat melalui makanan dan dihancurkan dalam usus, kemudian
diserap dan ditransfer ke hati serta disimpan dalam ginjal.
4.
Ikan
menyerap logam berat melalui insang, kemudian ditransfer melalui darah ke
ginjal. Logam berat anorganik dalam ginjal diekskresikan, sedangkan logam berat
organik tetap terakumulasi dalam jaringan.
Berdasarkan daya hantar listrik, semua unsur
kimia yang terdapat dalam susunan berkala unsur-unsur dapat dibagi atas dua
golongan yaitu logam dan non logam. Berdasarkan densitasnya, golongan logam
dapat dibagi atas dua golongan yaitu logam berat dan logam ringan (Clark,
1992). Logam berat adalah unsur-unsur kimia dengan berat jenis lebih besar dari
5 gr/cm3, terletak di sudut kanan bawah sistem periodik, mempunyai
afinitas yang tinggi terhadap unsur S dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92
dari periodik 4 sampai 7. Adanya logam berat di perairan, berbahaya baik secara
langsung terhadap kehidupan organisme, maupun efeknya secara tidak langsung
terhadap manusia (Sutamiharja, 1982 dalam
Marganof, 2003).
Menurut Sutamiharja (1982) dalam Marganof (2003), sifat-sifat logam
berat yaitu :
1.
Sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan
dan keberadaannya secara alami sulit terurai (dihilangkan).
2.
Dapat terakumulasi dalam organisme termasuk kerang dan ikan, dan akan
membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi organisme tersebut.
3.
Mudah terakumulasi dalam sedimen, sehingga konsentrasinya selalu lebih
tinggi dari konsentrasi logam dalam air. Di samping itu, sedimen mudah
tersuspensi karena pergerakan masa air akan melarutkan kembali logam yang
dikandungnya ke dalam air, sehingga sedimen menjadi sumber pencemar potensial
pada skala waktu tertentu.
2.3.Merkuri (Hg)
Palar
(1994), menyatakan bahwa keracunan yang diakibatkan oleh logam merkuri dalam
tubuh umumnya bersifat permanen yang dapat mengakibatkan keracunan akut dan
keracunan kronis. Batas
maksimum akumulasi logam Hg dalam tubuh ikan dan organisme untuk dikonsumsi
yang ditetapkan oleh Kep. Ditjen POM No. 03725/B/SK/1989 dan FAO/WHO (1976) adalah
sebesar 0,5 ppm.
Merkuri dan arsen biasanya berasal dari bahan
kimia yang ditambahkan selama proses pengekstraksian bijih emas. Senyawa
merkuri digunakan sebagai senyawa amalgam untuk emas (membantu pengikatan emas)
dalam tailing yang akan diekstraksi. Tailing yang mengandung bijih emas akan
terikat bersama merkuri. Pada keracunan kronis, gejala khusus yang dapat
diamati dinamakan dengan ”erethism”
dengan gejala tangan yang gemetaran, kehilangan ingatan, mudah pelupa, hiper
aktif, mempunyai rasa takut yang berlebihan (paranoid), dan menjadi gila (Hu,
2002). Gejala keracunan awal yang dapat teramati pada manusia, adalah rasa
gatal dan ruam-ruam pada bagian tubuh yang terkena air laut yang terkontaminasi
logam berat. Sedangkan dampak jangka pendek akibat mengonsumsi biota laut yang
terkontaminasi logam berat adalah mual dan muntah-muntah. Dampak jangka
panjangnya berupa gangguan sistem saraf, penyakit kanker, dan gangguan
reproduksi (Depkes RI, 2004).
2.4.Kadmium (Cd)
Kadmium
jarang ditemukan dalam keadaan bebas di alam, biasanya berikatan dengan
oksigen, klorida, sulfat, dan sulfit. Kadmium sering menjadi produk sampingan
dari ekstraksi Pb, Zn, dan Cu. Letusan gunung berapi adalah sumber kadmium dari
alam yang terbesar. Kadmium dari dalam air berasal dari pembuangan industri dan
limbah pertambangan. Logam ini sering digunakan sebagai pigmen pada keramik,
dalam penyepuhan listrik, pada pembuatan alloy, dan baterai alkali (LeCoultre,
2001).
Kadmium adalah elemen non esensial yang
dibutuhkan tubuh. Keracunan yang disebabkan oleh kadmium biasa disebut dengan ”itai-itai desease” (Ansari, et al., 2001). Efek keracunan yang ditimbulkannya berupa penyakit
paru-paru, hati, tekanan darah tinggi, gangguan pada system ginjal dan kelenjar
pencernaan serta mengakibatkan kerapuhan pada tulang (Marganof, 2003).
Marganof (2003), menyatakan bahwa keracunan
kadmium dapat bersifat akut dan kronis. Dosis akut (10-30 mg/kg berat badan per
hari) dapat menyebabkan beberapa iritasi saluran pencernaan, muntah-muntah,
diare, dan pengeluaran air ludah secara berlebihan, sedangkan pada dosis 25
mg/kg berat badan dapat menyebabkan kematian. Ansari et al. (2004), menambahkan bahwa keracunan kronis yang disebabkan
karena menghirup senyawa kadmium berupa asap atau debu akan mengakibatkan
pembengkakan pada paru-paru, dimana pundi-pundi udara pada paru-paru akan
menggelembung sehingga mengurangi kapasitas dari paru-paru tersebut.
2.5.Timbal (Pb)
Logam
timbal (Pb) berasal dari buangan industri metalurgi, yang bersifat racun dalam
bentuk Pb-arsenat. Dapat juga berasal dari poses korosi lead bearing alloys. Kadang-kadang terdapat dalam bentuk kompleks
dengan zat organik seperti hexaetil timbal dan tetra alkil lead (TAL). Pada
hewan dan manusia, timbal masuk melalui makanan dan minuman yang dikonsumsi
serta melalui pernafasan dan penetrasi
pada kulit. Di dalam tubuh manusia, timbal dapat menghambat aktifitas enzim
yang terlibat dalam pembentukan hemoglobin sehingga dapat menyebabkan penyakit
anemia. Gejala yang diakibatkan dari keracunan logam timbal adalah kurangnya
nafsu makan, kejang, muntah, dan pusing-pusing. Timbal dapat juga menyerang
susunan syaraf dan mengganggu system
reproduksi, kelainan ginjal, dan kelainan jiwa (Marganof, 2003).
Timbal (Pb) dan persenyawaannya dapat berada
di dalam badan perairan secara alamiah dan sebagai dampak aktivitas manusia.
Secara alamiah Pb dapat masuk ke badan perairan melalui pengkristalan Pb di
udara dengan bantuan air hujan. Selain itu proses korofikasi dari bantuan
mineral akibat hempasan gelombang dan angin. Badan perairan yang telah
kemasukan senyawa atau ion-ion Pb akan menyebabkan jumlah Pb yang ada melebihi
konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian bagi biota perairan tersebut.
Konsentrasi Pb yang mencapai 188 mg/l dapat membunuh ikan-ikan diperairan
(Suharto, 2001).
Pada jaringan atau organ tubuh logam Pb akan
terakumulasi pada tulang. Karena dalam bentuk ion Pb2+, logam ini
mampu menggantikan keberadaan ion Ca2+ (kalsium) yang terdapat pada
jaringan tulang. Disamping itu pada wanita hamil, logam Pb dapat dapat melewati
plasenta dan kemudian akan ikut masuk dalam sistem peredaran darah janin dan
selanjutnya setelah bayi lahir Pb, akan dikeluarkan bersama air susu. Meskipun
jumlah Pb yang diserap oleh tubuh hanya sedikit ternyata logam Pb ini sangat
berbahaya. Hal itu disebabkan senyawa-senyawa Pb dapat memberikan efek racun
terhadap berbagai macam fungsi organ tubuh (Suharto, 2001).
Keracunan yang disebabkan oleh logam Pb dalam
tubuh dapat mempengaruhi organ-organ tubuh antara lain sistem saraf, ginjal,
sistem reproduksi, sistem endokrin dan jantung. Logam Pb dapat menyebabkan
gangguan pada otak, sehingga anak mengalami gangguan kecerdasan dan mental
(Suharto, 2001).
2.6. Akumulasi Logam Berat pada Tubuh Kerang
Hijau
Hutagalung (1991), menyatakan bahwa
bioakumulasi merupakan masuknya bahan pencemar ke dalam laut yang kemudian
mengalami proses akumulasi secara biologis. Akumulasi logam berat yang terjadi
pada organisme karena logam berat yang masuk ke dalam tubuhnya cenderung membentuk
senyawa komplek dengan zat-zat yang terdapat pada tubuh organisme tersebut
sehingga terfiksasi dan tidak dieksreksikan.
Logam berat dalam air kebanyakan berbentuk
ion. Logam tersebut diserap oleh kerang dapat secara langsung melalui air yang
melewati membran insang atau melalui makanan. Logam berat yang turut masuk
melalui makanan, yang kemudian masuk ke dalam lambung dan usus kemudian
diangkut oleh darah ke seluruh tubuh (Lestari, 2002).
Darmono (1995) menyatakan bahwa ion logam
secara alamiah terdapat dalam tubuh makhluk hidup hampir semuanya berikatan
dengan protein yaitu metalloprotein dan metalloenzim. Metalloenzim merupakan
bagian dari metalloprotein yang mempunyai ikatan yang sangat kuat dan stabil
karena ion logam menjadi bagian dari struktur protein. Metalloprotein adalah
ikatan sistem metal protein yang ikatan ion logamnya sangat labil sehingga laju
pertukaran ion logam dengan kondisi lingkungannya sangat mudah dan juga
memudahkan ion logam untuk bertukar dengan protein lain.
Hampir semua ion logam selalu berinteraksi
dengan kompleks protein secara cepat. Hal ini disebabkan karena protein
mempunyai banyak rantai ikatan asam amino dan gugus karboksil yang merupakan
gugus penting dalam mengikat ion logam. Semakin panjang rantai peptida protein,
maka kemampuan senyawa tersebut untuk mengikat ion logam yang sama akan
bertambah dengan cepat (Darmono, 1995).
BAB
III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Kerangka Penelitian
Penelitian
untuk mengetahui
kadar logam berat Hg, Cd, dan Pb pada daging Kerang Hijau yang berasal dari perairan Teluk Jakarta. Penelitian
ini menggunakan metode kuantitatif dengan 3 (tiga) kali pengulangan dengan metode yang
digunakan oleh Hutagalung et al. (1997). Penentuan kandungan residu
logam berat dilakukan dengan menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometer
(AAS) Perkin Elmer AAnalyst800 (Perkin Elmer, 2000).
3.2. Materi
3.2.1. Materi penelitian
Materi
yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah daging Kerang Hijau (Perna viridis Linn.) yang diperoleh dari
TPI Muara Kamal, Teluk Jakarta. Kerang Hijau yang digunakan mempunyai ukuran
7-9 cm dan dalam 1 kg Kerang terdapat ± 29 ekor Kerang Hijau.
3.3.2.
Alat dan bahan penelitian
3.3.2.1. Bahan
Bahan yang digunakan dalam analisis sampel logam berat
disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Bahan yang
digunakan dalan analisis sampel logam berat
No
|
Nama
bahan
|
Kegunaan
|
1
|
Daging
Kerang Hijau
|
Sebagai
sampel
|
2
|
Asam nitrat/HNO3 (pekat) pa
|
Untuk
destruksi sampel
|
3
|
Asam
sulfat/H2SO4 (pekat) pa
|
Untuk
destruksi sampel
|
4
|
Asam perklorat/HClO4 (pekat) pa
|
Untuk
destruksi sampel
|
5
|
Larutan
NaBH4 (Natrium Borohidrat)
|
Sebagai
reduktor ion Hg
|
6
|
Larutan
standar Hg, Cd dan Pb
|
Untuk
pembuatan larutan standar
|
7
|
Deionized Water
|
Sebagai
pelarut
|
3.3.2.2. Alat
Alat yang digunakan dalam analisis sampel logam berat
disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 6. Alat yang digunakan dalam analisis sampel
logam berat
No
|
Nama
Alat
|
Kegunaan
|
1
|
AAS
Perkin Elmer AAnalyst 800
|
Untuk
mengukur kadar logam berat
|
2
|
Botol
BOD
|
Untuk tempat destruksi sampel Hg
|
3
|
Teflon Bomb/Teflon beker
|
Untuk
tempat destruksi sampel Cd dan Pb
|
4
|
Waterbath
|
Untuk
memanaskan sampel
|
5
|
Desikator
|
Untuk
mendinginkan sampel setelah proses pengeringan dari oven
|
6
|
Cawan
porselen
|
Sebagai wadah sampel yang akan dikeringkan
|
7
|
Oven
|
Untuk
mengeringkan sampel
|
8
|
Pisau
stainless steel
|
Untuk
membuka cangkang Kerang Hijau
|
9
|
Pipet
hisap/tetes
|
Untuk mengambil bahan kimia
|
10
11
|
Freezer
Timbangan
elektrik
|
Menyimpan
sampel
Untuk
menimbang sampel
|
3.4. Prosedur Penelitian
Adapun prosedur penelitian
pengukuran kadar logam berat Hr, Cd dan Pb sebagai berikut :
1. Daging kerang dipisahkan dari cangkangnya kemudian
ditimbang @ 150 gram untuk setiap perlakuan yang dicobakan.
2. Daging kerang untuk setiap perlakuan direndam dalam
larutan karboksimetil kitosan dengan kombinasi konsentrasi 0%, 0,5%, 1%, 1,5%
selama waktu 1, 2, 3 jam dan lakukan pengulangan sebanyak 3 kali. Setiap
perlakuan diberi kode.
3. Daging kerang dicuci dengan air hingga bersih
4. Dilakukan analisis kadar air dan preparasi sampel logam berat
dengan menggunakan metode analisis biota oleh Hutagalung et al., (1997) (Lampiran
1).
5. Pengukuran kadar logam berat dengan menggunakan alat AAS
Perkin Elmer AAnalyst 800. Parameter yang di amati kadar logam merkuri (Hg),
kadmium (Cd), dan timbal (Pb).
Sampel yang berupa
daging Kerang Hijau sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan dianalisis dengan
menggunakan alat AAS (Atomic Absorption
Spectrophotometry) untuk mengetahui besarnya kandungan logam berat Hg, Cd
dan Pb. Prinsip metode penentuan kadar logam berat dengan Spektrofotometrik
Serapan Atom (AAS) didasarkan pada Hukum Lambert-Beer, yaitu banyaknya sinar
yang diserap berbanding lurus dengan kadar zat (Hutagalung et al., 1997).
Oleh karena yang mengabsorbsi sinar adalah atom, maka
ion/senyawa logam berat dalam contoh harus diubah dalam bentuk atom. Perubahan
bentuk ion Cd dan Pb menjadi bentuk atom biasanya dilakukan pada suhu tinggi
(20000C) melalui pembakaran (asetilen udara) atau dengan energi
listrik (graphite furnaces /carbon rod atomizer). Khusus untuk air
raksa (Hg), pengatoman dilakukan dengan menambahkan zat kimia yang bersifat
reduktor, yaitu NaBH4 (Hutagalung et al, 1997).
3.5.
Prosedur Analisis
K. Preparasi sampel Hg (Hutagalung et al., 1997).
1. Ditimbang sebanyak 5 gr sampel basah, dimasukkan ke dalam
botol BOD.
2. Dipipet sebanyak 30 ml asam sulfat (H2SO4)
pekat dan memasukkan dalam botol BOD, ditambahkan 10 ml asam nitrat (HNO3)
pekat. Botol BOD kemudian di tutup dan didiamkan selama 24 jam.
3. Setelah 24 jam, dipanaskan dalam waterbath selama 2 jam
pada suhu 600C.
4. Setelah 2 jam, botol BOD diangkat dan didinginkan pada
larutan air es pada suhu 40C.
5. Dipipet sebanyak 25 ml sampel lalu dimasukkan ke dalam
erlenmeyer dan direfluks sampai nitrat hilang (asap kuning tidak lagi keluar
dari sampel).
6. Setelah nitrat hilang, sampel didinginkan. Setelah
dingin, ditambahkan 2-3 tetes H2O2 (hidrogen peroksida)
dan 30 ml deionized water.
7. Dipindahkan sampel ke dalam botol, sampel sudah siap
untuk diukur. Jika kadar Hg masih terlalu tinggi daripada standar yang telah
dibuat, sampel diencerkan sesuai kebutuhan.
L. Preparasi Sampel Cd dan Pb (Hutagalung et al., 1997).
1. Ditimbang sebanyak 2 gr sampel kering (sebelumnya sampel
dioven selama 24 jam pada suhu 1050C dan didinginkan dalam desikator
selama 2 jam), dimasukkan dalam teflon bomb/teflon beaker.
2. Dipipet sebanyak 3,5 ml asam nitrat (HNO3)
pekat, dimasukkan kedalam teflon bomb lalu ditambahkan sebanyak 1,5 ml asam
perklorat (HClO4) pekat. Botol ditutup dan didiamkan selama 24 jam.
3. Setelah 24 jam, botol dipanaskan dalam waterbath pada
suhu 700C hingga larutan
menjadi jernih.
4. Ditambahkan 3 ml deionized
water. Dipanaskan kembali dalam waterbath pada suhu 700C hingga
larutan hampir kering (± 2 jam).
5. Didinginkan pada suhu ruang, setelah dingin ditambahkan 1
ml HNO3 pekat dan diaduk pelan-pelan.
6. Ditambahkan 9 ml deionized
water kemudian disaring.
7. Sampel sudah siap untuk diukur. Jika kadar logam Cd dan
Pb masih terlalu tinggi daripada standar yang telah dibuat, sampel diencerkan
sesuai kebutuhan.
3.6.
Pengumpulan Data
3.6.1. Data
kandungan logam berat Hg, Cd, dan Pb
A. Data kandungan logam berat Hg (Hutagalung et al.,
1997).
Data kandungan logam berat Hg diperoleh dari rumus :
Kadar Hg wb
(ppb) = 

Kadar Hg db
(ppb) =
wb

Keterangan : wb = Berat basah sampel
db = Berat kering sampel
a = Kadar Hg hasil pengukuran dengan AAS
b = Faktor pengenceran
c = Berat sampel basah
B. Data kandungan logam berat Cd, dan Pb (Hutagalung et al.,
1997).
Data kandungan logam berat Cd dan Pb diperoleh dari rumus
:
Kadar Cd (ppb) = 

Keterangan: a = Kadar Cd dan Pb hasil pengukuran
dengan AAS
b = Faktor pengenceran
c = Berat
sampel kering
C. Data tingkat penurunan logam berat Hg, Cd, dan Pb
Data tingkat penurunan logam berat Hg, Cd, dan Pb
diperoleh dari rumus :
Tingkat penurunan logam berat = 100 - 

DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 1998. Annual Book of ASTM
Standar. Vol.06.03. United
States . Hal. 313-315
Ansari,
T. M., Marr, I. L., and Tariq, N. 2004. Heavy
Metal in Marine Pollution Prespective-A Mini Review. Journal of Applied
Science. Analytical
and Environmental Chemistry Research Group. Department of Chemistry. Bahauddin Zakariya University .
Multan . Pakistan . 20 hal. www.ansinet.org/fulltext/jas/jas411-20.pdf
. Diakses tanggal 12 Juli 2005.
Bishop,
T. D. 2003. Taxonomic Detail of Perna viridis. LTER Project Review. Georgia Coastal Ecosystems. US.
http://www.gce-lter.marsci.uga.edu.
Diakses tanggal 23 Februari 2006.
Clark, R.B. 1992. Marine
Pollution.3rd Edition. Oxford
University Press. New
York. 172 hal.
Darmono. 1995. Logam dalam Biologi Makhluk Hidup. UI
Press. Jakarta . 139 hal.
Dinata, A. 2005. Waspadai Pengaruh Toksisitas Logam Berat
pada Ikan. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0804/12/
cakrawala/lainnya02.html Diakses
tanggal 12 Juli 2005.
Hartanti. 1998. Analisis Kandungan
Logam Berat Merkuri (Hg), Kadmium (Cd), Timbal (Pb), dan Tembaga (Cu) dalam
Tubuh Kerang Konsumsi Serta Upaya Penurunannya. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Kelautan. IPB. Bogor . 68 hal.
Hu, Howard. 2002. Human
Health and Heavy Metal Exposure. In : Life Support: The Environment and Human
Health. Edited by Michael McCally. MIT Pres. 13 hal. http://www.chge.med.harvard.edu/education/mccally.pdf Diakses tanggal 12 Juli 2005.
Hutagalung H.P. 1991.
Pencemaran Laut oleh Logam Berat dalam Beberapa Perairan Indonesia .
Puslitbang Oceanologi LIPI. Jakarta
Hutagalung H.P., Setiapermana, D
dan Riyono, S.H. 1997. Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota. Buku 2. Puslitbang Oceanologi LIPI. Jakarta .
Hal 59-79.
Irwansyah, 1995. Efektifitas Khitin Sebagai Bahan
Pengabsorbsi Residu Logam Berat Raksa (Hg) pada Kerang Hijau (Mytilus
viridis). Skripsi. Fakultas Perikanan dan Kelautan.
IPB. Bogor. 65 hal
LeCoultre, T. D. 2001. A Meta-Analysis and
Risk Assessment of Heavy Metal Uptake in Common Garden
Vegetables. A Thesis. Faculty of the Department of Environmental Health. East Tennessee State University , US . 64 hal
Lestari, S. 2002. Penggunaan Na2CaEDTA
dengan Konsentrasi dan Waktu yang Berbeda Sebagai Upaya Penurunan Kandungan
Logam Berat (Hg dan Pb) pada
Kerang Hijau (Mytilus viridis Linn.).
Skripsi. Fakultas Pertanian Jurusan Perikanan. Universitas Padjajaran.
Jatinangor. Hal 1-20.
Marganof, 2003. Potensi Limbah Udang
Sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium, dan Tembaga) di Perairan. Makalah
Pribadi. Pengantar ke Falsafah Sains Program Pasca sarjana S3 IPB. Bogor. 8 hal.
Martin A.,
Swarbrick J., Cammarata A. 1983. Farmasi Fisik: Dasar-dasar Kimia Fisik Dalam
Ilmu Farmasetik vol. 2. Jakarta UI Press. Hal.1022-1036
Murtini, J.
T., Januar H. I., Sugiyono. 2004. Upaya Pengurangan Logam Berat Hg, Cd, dan As
dengan Menggunakan Larutan Kitosan. JPPI. Edisi Pasca Panen.
Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan.
Jakarta.10 (3). Hal 7-10.
Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka. Jakarta. 152
hal.
Porsepwandi, W. 1998. Pengaruh pH Larutan Perendaman Terhadap Penurunan kandungan Hg
dan Mutu Kerang Hijau (Mytilus viridis
Linn.). Skripsi. Fakultas Perikanan dan Kelautan. IPB. Bogor. 42 hal.
Russell-Hunter, WD. 1997. Life of Invertebrates.
Macmallin Publishing Co Inc. New York .
US. 650 hal.
Suharto, 2001. Dampak Pencemaran
Logam Timbal (Pb) Terhadap Kesehatan Masyarakat. Arsip Kesehatan Lingkungan. Pusat Data dan Informasi PERSI. Jakarta. 3 hal.http://www.pdpersi.co.id/pdpersi/news.html.
Diakses tanggal 6 Januari 2006.
ayo semangat kti pengawas perikanan sukamandi
ReplyDeleteSundul gan :D
ReplyDelete